Sabtu, 29 September 2012

Mualaf Dunia

Alexander Husseini, Saya Bangga Menjadi Muslim

Alexander Hesseini  Australia bukanlah negara Islam. Kebudayaan Barat yang dianut Australia pun kerap bertolak belakang dengan ajaran agama Islam.
Tetapi bagi Alexander Husseini, atau Alex, hal ini tidak membuatnya membatasi pergaulan.
“Islam mengajarkan pemeluknya untuk memiliki karakter yang kuat. Sebagai Muslim, kita harus tunjukkan kalau bertingkah laku yang beradab,” ujarnya.
Usianya masih terbilang sangat muda, 21 tahun. Tetapi justru ia tidak ingin masa mudanya hilang begitu saja. Ia ingin terus teguh memegang keimanannya, sambil berharap bisa membantu orang lain.
Menurut Alex, jika kita mampu berperilaku seperti apa yang sudah diajarkan Islam, maka orang lain akan semakin menghormati kita. Tak jarang, bahkan menjadi panutan bagi yang lain.
Alex sehari-harinya bekerja membantu bisnis keluarganya, yakni sebuah toko keju yang selalu ramai dikunjungi di pasar terkemuka, Queen Victoria Market di Melbourne.
Ia bukanlah termasuk orang yang malu untuk mengakui dirinya adalah seorang Muslim, ditengah pemberitaan soal Islam yang kerap kali terdengar miring. “Saya jelaskan kepada teman yang lain, jika shalat itu adalah untuk membuat rileks setelah berbagai kesibukan. Juga tempat dimana kita berharap dan berdoa pada Sang Pencipta,” kata Alex.
“Mungkin sama saja bagi sebagian yang melakukan yoga, ya itulah shalat bagi saya.”
“Sementara, puasa adalah untuk ikut merasakan apa yang dialami oleh mereka yang tidak mampu.”
“Bulan Ramadan juga adalah saat yang tepat untuk berbagi. Bayangkan jika kita semua memberikan sumbangan kepada mereka yang membutuhkan, mungkin masalah kemiskinan bisa diatasi,” tambahnya.
Di tengah kesibukannya, ia kerap bermain sepak bola, salah satu kegemarannya.
Tak jarang, beberapa diantara temannya kadang merayakan kemenangan dengan berpesta atau minum alkohol, hal yang dilarang dalam ajaran Islam. “Yang terpenting adalah selalu berperilaku terbaik untuk menjaga moral,” tanggapnya soal bagaimana menolak ajakan dan godaan dari sekitar.
Alex pun merasa beruntung karena ia tidak pernah mengalami diskriminasi atau kekerasan yang berbau suku dan agama.
Menurutnya, warga Australia tidak akan langsung begitu saja dalam menghakimi atau menilai seseorang. “Di sini orang akan menilai kita secara bertahap, karenanya jika kita terus menunjukkan yang akhlak yang terbaik, maka orang pun akan sungkan menuduh kita macam-macam.”
Alex memiliki harapan dan mimpi besar bagi Australia. “Kita antar umat beragama sebenarnya bisa mudah bersatu karena ada kesamaan.”
“Kesamaan ajarannya adalah selalu ingin membantu orang yang kesusahan, membantu yang sakit, misalnya,” tambahnya. “Jika ini yang dipersatukan, maka akan sangat bermanfaat dan berguna untuk orang lain”


Haneefah binti Stefan: Islam Menyatu dengan Gaya Hidupku

Haneefah binti Stefan pertama kali bersinggungan dengan Islam ketika berusia 15 tahun. Kala itu, ia membaca sebuah kisah dalam buku tentang seorang perempuan Swedia yang memeluk Islam. Dalam hatinya, ia bergumam apa yang terjadi bila dirinya menjadi seorang Muslim, dan apakah identitas itu akan mengubah hidupnya.
Memerhatikan dengan seksama, Haneefah melihat perempuan tersebut mengenakan jilbab. Sementara ia bekerja sebagai sekretaris.
Begitu minimnya informasi tentang Islam yang diperoleh membuat dia begitu terkejut. “Dalam hatiku, bagaimana bisa dia bekerja dengan jilbab di kepalanya? Siapa yang akan mempekerjakannya?” gumam Haneefah.
Kesimpulannya, ia tidak mungkin menjadi Muslim lantaran akan mengurangi kesempatannya untuk mendapatkan pekerjaan yang diimpikan. Pemikiran ini berkat didikan orang tuanya yang jujur dan pekerja keras, namun tidak melihat agama sebagai hal penting. Tak heran, pengaruh itu begitu tertanam dalam pemikirannya.
Mereka berpandangan makna hidup sebenarnya berada di dalam hidup sendiri. Ketika manusia menjadi debu, maka ia lebih dari sekedar debu. Meski demikian, Haneefah merasa ibunya masih menghormati tradisi dalam Kristen “Ia tak mau aku seperti dirinya. Maka ia sekolahkan aku di gereja,” tuturnya.
Haneefah setuju dengan rencana ibunya. Dalam hatinya, barangkali dengan mendekatkan diri dengan gereja, maka dirinya akan beragama. Benar saja, Haneefah mulai menikmati kebersamaannya dengan gereja. Ia kembali bernyanyi, bermain teater, dan menghabiskan musim panas di kamp.
“Sebenarnya, kebersamaan itu hanya mendatangkan keraguan kuat dalam diriku tentang agama Kristen. Aku baca Alkitab, tapi tidak mendapatkan apa yang dibutuhkan,” kata dia. “Aku tidak tahu ada sesuatu yang kucari. Aku tidak tahu apa itu. Aku belajar astrologi dan meditasi, tetapi tetap saja membuatku bingung.”
Semenjak itu, Haneefah mulai menyimpan jurnal rohani. Jurnal ini berupa buku kecil yang berisi materi berupa literatur agama dan non-agama. Tak ketinggalan, ayat-ayat Alkitab, puisi, nyanyian Hindu lagu atau apa pun yang memiliki arti baginya.
Di usia ke-16 tahun, Haneefah meninggalkan kota kelahirannya guna menuju kota besar. Di kota itu, ia lanjutkan pendidikannya. Selama proses adaptasi, banyak kekhawatiran dalam dirinya. “Aku memulainya dengan perasaan kurang nyaman,” ujarnya.
Di sekolahnya, Haneefah dikenal sebagai pelajar Swedia yang tidak memiliki teman Swedia. Kondisi itu membuatnya jauh dari pergaulan normal.
Namun, ia melihat hal itu sebagai hal yang luar biasa. Di komunitasnya itu, ia kerap terlibat dalam diskusi tentang Islam.
Usai mengikuti diskusi, ia merasa bingung mengapa Islam bisa menjadi bagian dari gaya hidup mereka. Sementara, tidak demikian dengan Kristen.
Suatu hari, ia berpergian dengan ayahnya. Saat itu, ia mencari sejumlah buku, salah satunya adalah terjemahaan Alquran berbahasa Swedia.
Ia memutuskan membeli Alquran itu guna mendapatkan pemahaman yang lebih luas dari agama-agama yang dianut temannya. “Kini, jurnal rohani saya bertambah satu item, yakni Islam,” ucap dia bangga.
Tak butuh lama, bagi Haneefah untuk mengetahui isi Al-Quran. Banyak hal yang menarik dirinya ketika membaca kitab suci umat Islam tersebut. Ia seolah menemukan harta karun, namun ia menyadari bahwa terjemahan ini banyak yang keliru.
Beruntung, teman-temannya banyak membantu. “Aku pergi mengunjungi temanku asal Irak. Aku katakan padanya soal ketertarikan terhadap Islam,” ungkapnya.
Sang teman terkejut. Oleh temannya itu, Haneefah diajak menuju organisasi Islam. Di sana, ia mendapati sejumlah buku dan nomor telepon dari perempuan Swedia yang memeluk Islam. Sesudahnya, Haneefah merasa takut untuk memberitahu orang tuanya terkait niatannya itu.
Benar saja, ketika Haneefah memberanikan diri mengatakan niatannya itu. Keluarganya marah besar. Mereka membuang buku-buku Islamnya. Keluarganya menilai ia telah dicuci otaknya. Tapi hal itu tidak menghentikannya untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Setelah itu, ia banyak belajar tentang Islam dari perempuan Swedia yang memeluk Islam.

“Aku datangi rumahnya, kami belajar bersama. Dalam masyarakat Swedia, beribadah secara terang-terangan tidak dihargai. Tapi saat ini, aku merasa bebas dan tidak mempedulikan apa yang ada di pikiran orang lain,”
pungkas dia.



Laurence Brown: Yesus Kabarkan Kerasulan Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam

laurence-brownkisahmuallaf.com – Ketika dua orang mengajarkan dua hal yang saling bertentangan, seseorang harus memilih yang mana yang harus diikuti. Laurence Brown lebih mempercayai Yesus dibandingkan Paulus.
‘’Menurut Yesus Tuhan adalah satu, sedangkan Paulus menganggap Tuhan itu tiga,’’ ujar Laurence. Yesus juga mengatakan bahwa Perjanjian Lama dapat dipakai, sementara Paulus mengatakan sebaliknya. Hal inilah yang membuat Laurence memutuskan untuk mempercayai Yesus.
Laurence tinggal di lingkungan yang masyarakatnya banyak menganut Kristen. Mereka sangat dekat dengan kekristenan, namun tidak benar-benar memahami tentang keimanan itu sendiri dan mereka tidak benar-benar menganut keyakinan tersebut.
Kebanyakan masyarakat Amerika memiliki keyakinan terhadap agama. Namun mereka tidak benar-benar bisa menerima agama yang diajarkan di gereja tersebut secara utuh. Mereka sangat beruntung karena mempercayai adanya Tuhan dan nabi-nabinya. Mereka dapat melihat kebenaran di dalam pengajaran Alkitab.
Namun ketika mereka sampai kepada pengajaran tentang keimanan, satu dua fakta yang diajarkan mungkin masih dapat diterima. Begitu hal lain tidak dapat mereka terima.
Lalu mulailah mereka mencari kebenaran yang tidak dapat mereka temukan di dalam Kristen. “Dan itulah yang saya lakukan ketika akhirnya saya menemukannya di dalam Islam,“ katanya dalam acara The Deen Show.
Ketika mencari kebenaran di dalam Kristen, ia mempercayai nabi-nabi seperti Musa dan Yesus yang mengajarkan kebenaran kepada umat-umat mereka. Musa berkata pada umatnya bahwa akan ada tiga nabi yang harus diikuti oleh mereka setelah dirinya. Yohanes Pembaptis (Yahya) adalah yang pertama, Lalu Yesus dihitung sebagai yang kedua. Yesus pun mengatakan akan ada nabi berikutnya setelah dirinya, yang merupakan nabi terakhir.
Laurence bertanya-tanya, siapakah satu nabi lain yang dibicarakan oleh Musa dan Yesus ini? Ketika mempelajari Islam, ia menemukan jawabannya. Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah nabi yang dikatakan oleh kedua nabi sebelumnya. Ia akan membawa kesempurnaan bagi agama yang selama ini diturunkan Musa dan Yesus kepada umat-umatnya.
Di Barat banyak sekali orang-orang yang berkomentar miring tentang Islam. Islam dipandang sebagai agama teroris yang akan menghancurkan sekelompok masyarakat. “Akan tetapi jika kita mempelajari Islam yang sebenarnya secara mendalam, lalu hidup di antara Muslim lainnya, kita akan menemukan Islam sebagai agama yang indah,“ tambahnya.
Banyak orang jahat di dunia ini, ujar Laurence, namun yang sebenarnya adalah setiap orang menginginkan kebaikan. Setiap orang ingin tidur dengan tenang setiap malam, bangun setiap pagi dengan keyakinan mereka akan melakukan kegiatan sehari-hari tanpa ketakutan, dan mereka ingin memiliki hidup normal.

“Kehidupan dalam Islam adalah kehidupan dalam kesopanan, kesederhanaan, dan kerendahan hati. Dan menurut saya begitulah seharusnya setiap manusia memaknai hidupnya.“

0 komentar:

Posting Komentar